Friday, November 28, 2008

About Iwan Harsono

Iwan Harsono is a senior Lecturer in the Department of Economics University of Mataram. He received his Masters degree at School of Economics the University of New England Armidale Australia & Doctoral degree in Economics at the University of Brawijaya Malang East Java Indonesia. He joined as faculty at University of Mataram, where he is teaching since 1987.
His main research interests are in the areas of Poverty, Agricultural Economics, Quantitative Economics, and Regional Economics. He has writen widely in newspapers and conferences. He has focused in the last few years on the research issues in . He has participated in national & International Conferences etc.
He is closely associated with many companies and local government institutions as a consultant, offering advice in planning, selection, implementation and evaluation Regional Budget, Poverty Program Evaluation, and Implementation of Regional Autonomy.

Wednesday, October 29, 2008

Memahami Akar Krisis Gobal

Dr. Iwan Harsono,SE.MEc*)

“The crisis began with the bursting of the United States housing bubble and high default rates on "subprime" and adjustable rate mortgages (ARM), beginning in approximately 2005–2006”
Washington Post (www.washingtonpost.com)


Kata kata Subprime Mortgage, Credit krisis, dan krisis finansial global menjadi akrab di telinga kita akhir-akhir ini tapi tidak semua kita memahami Jalan cerita dan dampak krisis itu. Tulisan itu sedikt menceritakan latar belakang dan dampak kejadian itu.

Cerita Subprime Mortgage
Saya mulai cerita dari tahun 1995 dimana saham-saham teknologi di AS lebih dulu booming, namun kolaps dan menyebabkan banyak perusahaan jenis ini tak mampu membayar pinjaman ke bank. Akibatnya perekonomian Amerika mengalami pertumbuhan negatif, disebut resesi. Agar keluar dari resesi maka The Fed (BI-nya Amerika)tahun 2001 menurunkan suku bunga, sehingga suku bunga hingga 1% - bayangkan 1%/tahun. Secara ekonomi, penurunan suku bunga, pada umumnya akan membantu pertumbuhan ekonomi. Orang tidak menabung tetapi melakukan investasi & konsumsi sehingga mendorong belanja masyarakat yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Seiring dengan rendahnya suku bunga, pertumbuhan perumahan di Amerika Serikat menggelembung. Perusahaan kredit perumahan melihat hal ini sebagai sebuah peluang bisnis yang mampu mendatangkan keuntungan yang besar, sehingga mereka berani untuk mengucurkan kredit rumah karena perusahaan kredit Rumah mengenakan bunga sekitar 9 % (biar resiko tinggi tapi untungnya banyak). Jumlah Kredit Perumahan Subprime Mortgage kepemilikan rumah yang ditujukan bagi orang-orang yang mempunyai credit rating buruk meningkat. Mereka umumnya terbawa arus booming harga rumah dan cicilan kredit yang murah akibat bunga murah. Orang-orang ini mempunyai impian untuk memiliki rumah, namun terbentur dengan ketatnya persyaratan bank. Bank-bank konvensional yang ada tidak ingin mengambil resiko dengan credit rating mereka yang kurang baik. Sebagai informasi Sistem pemberian KPR di Amerika sangat bergantung terhadap credit score yang dikeluarkan oleh perusahaan credit scoring seperti yang mengunakan metode FICO, konsumen dapar memiliki FICO score mulai dari 300 s/d 850 tergantung dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa credit score. Pada saat ini rata-rata credit score untuk konsumen di Amerika berkisar 620. Semakin rendah credit score (FICO<620), semakin kurang kelayakan dari konsumen tersebut mendapatkan KPR. Subprime mortgage borrower diberikan kepada konsumen yang memiliki FICO score < 620.

Sebagian dana dari perusahaan kredit perumahan KPR didapat dari pinjaman pihak ketiga dalam jangka waktu pengembalian yang pendek kurang dari 5 tahun. Sementara, KPR Amerika sendiri merupakan kredit jangka panjang yang bisa lebih dari 10 tahun. Ini mengakibatkan terjadi mismatch credit (KPR Amerika pinjam uang untuk bangun Perumahan dan dananya harus kembali sebelum 5 tahun sementara rumah dijual kredit sampai 20 tahun).

Selain itu, perusahaan kredit perumahan juga berbisnis dengan margin penjualan yang dikenal dengan Mortgage-Backed Securities(MBS) atau dalam bahasa Indonesia Efek Beragun Aset (EBA). EBA merupakan kumpulan kredit yang kemudian dijual kepemilikannya kepada bank dan investor, baik individu maupun institusional. Penyebab utama meluasnya dampak KPR Amerika secara global adalah penjualan EBA yang sampai ke luar negeri (Eropa, Jepang, Australia, dll). Investor mendapatkan bukti kepemilikan EBA dalam bentuk saham yang diback-up oleh properti yang diagunkan dalam proses KPR Amerika tersebut. Karena EBA yang berasal dari KPR Amerika ini cukup berisiko, maka returnnya juga cukup tinggi. Return EBA didapatkan dari cicilan pembayaran debitur-debitur KPR Amerika.Selanjutnya, karena EBA tipe KPR Amerika ini berkarateristik high risk high return (resiko tinggi tapi untung tinggi), maka cukup banyak investor hedge fund dan invesment bank yang meminatinya. Hedge Fund sendiri terdiri kumpulan dana investor raksasa yang investasinya lintas negara dan cenderung beraksi spekulatif. 

Perkembangan selanjutnya dari booming perumahan ini yang terjadi adalah semakin populernya sejenis KPR yg disebut ARM (Adjustable Rate Mortgage). Dalam rangka menarik customer agar mengambil KPR, institusi keuangan mengembangkan ARM, yg pada intinya adalah KPR dimana tingkat suku bunganya dalam 2-3 tahun pertama sangat murah, tetapi pada tahun selanjutnya akan naik lebih tinggi daripada KPR biasa. Jenis KPR 2/3 ARM ini sangat populer hingga di Mataram, sebagai contoh, coba lihat lagi reklame PT Varindo Lombok Inti di koran ini beberapa tahun lalu ”rumah murah cicilan hanya Rp 300,000.-/Bulan padahal di brosur Cicilan KPR PT Varindo lombok Inti cicilan rumah sederhana (RS) Cuma Rp 300.000,- dari tahn 1 hingga tahun ke 3 dan pada tahun ke 4 dst adjustable menjadi Rp 700,000,-/bulan. 

Banyak konsumen sektor properti yang lalu tertarik untuk mengambil KPR jenis ARM ini karena tergiur bunga awal yg sangat rendah. Pertimbangan konsumen, sebelum masa 2-3 tahun itu habis, pasar properti pasti sudah naik lagi, dan properti itu sudah akan mereka jual ataupun mereka bisa melakukan “refinancing” lagi dengan mengandalkan kenaikan harga itu. Dengan re-financing, meskipun sebenarnya rumah itu belum mereka jual karena berharap harganya masih akan terus naik, tetapi kenaikan harga ini sudah mereka “nikmati”, dengan cara mengambil pinjaman tambahan dengan jaminan rumah yg sama. Uang ini mereka pakai, baik untuk konsumsi maupun untuk investasi kembali di properti yang lain karena tergiur kenaikan harga properti yg drastis. Karena Permintaan rumah meningkat maka harga rumah naik.

Karena pasar KPR yg begitu aktif dan berkembang, institusi keuangan pun agak “kewalahan” untuk mengumpulkan dana yg bisa dipakai untuk memberikan KPR. Mereka pun mengembangkan produk obligasi yg namanya CDO (Collateralized Debt Obligation). Bunga yang dipakai untuk membayar bunga obligasi CDO adalah bunga yang mereka dapat dari kredit KPR yang telah mereka kucurkan. Dana yg didapat oleh institusi keuangan dari hasil penjualan obligasi CDO ini, lalu mereka kucurkan lagi utk memberikan KPR, yang lalu mereka pakai untuk menerbitkan obligasi CDO lagi. Siklus ini kemudian juga terjadi berulang-ulang.

Tsunami Finansial
Selanjutnya bagaimana bisa jadi ”tsunami finansial” istilah Lalu Mara Satriawangsa di koran ini. Ceritanya begini, Setelah 4 tahun menerapkan bunga 1%/ tahun, The Fed (BI-nya Amerika) mulai bingung karena inflasi meningkat drastis. Inflasi yang tak terkendali adalah penyakit perekonomian karena menurunkan kesejahteraan/daya beli masyarakat. Contoh kalau gaji dosen naik dari 2,5 juta ke 2,6 juta jangan senang dulu karena kalau harga (inflasi) naik 10 % maka gaji ril (kesejahteraan) turun.

Melihat kondisi inflasi yang mencapai 3,5 % di Amerika maka pada Juni 2004 The Fed (BI-nya Amerika) secara bertahap menaikkan suku bunga patokannya hingga terakhir bertahan di 5,25%. Maksudnya supaya orang menabung dan uang yang beredar kurang dan inflasi turun. Disisi lain, naiknya suku bunga ini diikuti dengan cicilan yang dibayar oleh masyarakat yang mengambil KPR meningkat, orang-orang yang mempunyai credit rating buruk yang saya sebutkan diatas tadipun kebingungan membayar akhirnya ramai-ramai menjual rumahnya, sedangkan orang-orang kaya yang punya uang mengambil sikap wait and see tak mau mau membeli rumah dalam kondisi ekonomi yang krisis. Kembali lagi ke teori ekonomi dasar, penjual banyak dan pembeli sedikit harga jatuh drastis. 

Orang-orang yang masih terikat KPR Amerika bingung. Di satu sisi, beban cicilan hutang mereka kepada bank semakin besar (karena bunga naik), di lain sisi rumah mereka nilainya makin turun. Akibatnya mulai banyak timbul kasus dimana hutang KPR seseorang kepada bank itu jumlahnya lebih besar daripada nilai rumahnya sekarang. Sebagai Contoh, dulu harga rumahnya 100 juta dan sisa utang cicilanya 80 Juta, karena rumahnya kalau dijual sekarang harganya Cuma 60 Juta bahkan tidak cukup untuk bayar utang.

Pada tahun 2007 terjadilah kredit macet masal, dan penyitaan rumah (foreclosed) besar-besaran. RealtyTrac, perusahaan penyedia data penyitaan rumah di AS, mencatat pengumuman lelang sebanyak 179.599 yang mencakup 2,5 juta rumah yang dinyatakan disita karena gagal bayar. Ini adalah jumlah penyitaan terbanyak selama 37 tahun. Penyitaan besar-besaran ini jelas dapat menimbulkan banyak warga AS menjadi tuna wisma mendadak, dan bisa menjadi masalah sosial baru dan sektor riil mulai seret. 

Kejadian Oktober 2008 diperparah dengan naiknya cicilan bunga Jenis KPR 2/3 ARM yang saya jelaskan diatas yang diambil masyarakat Amerika tahun 2005/awal tahun 2006, bunganya mulai “reset” suku bunganya dari bunga rendah ke bunga tinggi (Contoh KPR PT Varindo Lombok Inti dari biasa cicil Rp 300.000,- mulai cicil Rp 700.000,-) akan mencapai puncaknya pada tahun 2008-2009. Semakin berat lagi beban cicilan bunga, semakin banyak yg gak kuat bayar dan rumahnya kena sita. Ketika para debitur tidak mampu membayar cicilan kreditnya, maka EBA yang berasal dari subprime mortgage juga ikut ambruk. Nilai jualnya jadi merosot. Akibatnya, para investor yang menanamkan modalnya di EBA subprime mortgage merugi. Hal yang memperparah kondisi ini adalah banyaknya perusahaan kredit perumahan yang bangkrut karena tidak ada putaran uang yang terjadi dan diperparah dengan adanya financing mismatch yang saya sebutkan diatas.

Bank-Bank besar di Eropa mengalami masalah terhadap investasi EBA subprime mortgage di Amerika. Selanjutnya kabar buruk ini segera menjalar ke seluruh dunia dan menyebabkan kepanikan pasar. Kepanikan pun sampai ke investor-investor di lantai Bursa Efek Indonesia hingga sempat ditutup. Investor lalu mulai menjual saham-saham yang bergerak dalam industri Perumahan, yang jumlahnya mencapai 40% dari total kapitalisasi pasar. Meletusnya bubble di sektor properti ini sendiri tidak berakhir di sini, melainkan lalu menyebabkan pecahnya bubble lainnya, yaitu bubble derivatif yang kemudian menimbulkan Tsunami Finansial dan seluruh kepala negara di dunia merasa sedikit bingung. Di Indonesia tak terkecuali sehingga SBY merasa perlu mengumpulkan para ekonom di Istana merdeka Jum’at 17 Oktober 2008 dengan salah satu pesan jangan memperkeruh pasar dan redam kepanikan masyarakat.

Kondisi Indonesia : Outstanding Kredit Perbankan
Krisis Subprime Mortgage Amerika Serikat terutama disebabkan oleh investor yang tidak memperhatikan faktor fundamental portofolio yang dibelinya, dan penyaluran kredit yang menyimpang dari prinsip 5 C (Character, Capacity, Collateral, Condition, Capital). Ditambah lagi dengan kondisi masyarakat yang hidup besar pasak daripada tiang. Akibat adanya globalisasi, dimana transaksi keuangan bisa terjadi lintas negara, bahkan lintas dunia, maka dampak krisis subprime mortgage AS ini menginfeksi bursa saham di seluruh dunia, mengakibatkan penurunan harga saham besar-besaran, dan membangkitkan kepanikan para investor. 

Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade (2003), menjelaskan bahwa kini, rata-rata orang Amerika yang berhutang bukan petani, pengusaha, pedagang (sektor produktif) melainkan orang-orang yang menjadi pegawai Konsumtif). Ada kecenderungan terjadi overconsumption dan hidup besar pasak dari pada tiang. Bangsa Amerika adalah bangsa yang sangat konsumtif dan data 2005 menunjukan bahwa rata-rata orang amerika berbelanja 5% diatas pendapatan yang diterimanya. 

Hal yang sama dan mungkin lebih parah terjadi di indonesia. Ini tidak terlepas dari dari kepercayaan para pelaku perbankan, bahwa pinjaman konsumtif merupakan pendorong pertumbuhan kredit perbankan yang aman. Di Indonesia, pada dekade sebelum 1990-an, komposisi kredit perbankan sebagian besar diperuntukkan bagi pembiayaan sektor produktif, baik itu sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, serta sektor produktif lainnya. Dengan demikian yang menjadi debitur perbankan, saat itu, kebanyakan adalah petani, pengusaha, ataupun pedagang. Namun seiring perubahan gaya perekonomian, porsi mereka dalam mendapatkan pembiayaan dari bank semakin berkurang dari hari ke hari. Di lain sisi, satu profesi, yaitu pekerja yangsebelumnya sangat jarang menjadi debitur perbankan, saat ini merupakan sasaran penyaluran kredit bank-bank dalam pembiayaan yang bersifat konsumtif.
 
Data tahun 2007 menunjukan bahwa 40% dari outstanding kredit yang diberikan perbankan Indonesia disalurkan kepada sektor konsumtif yang hampir seluruhnya, dinikmati oleh kaum pekerja (mayoritas PNS). Pemberian kredit kepada sektor perdagangan (termasuk hotel & restoran) “hanya” sebesar 21% dari total outstanding kredit perbankan Indonesia Sektor pertanian mendapatkan jauh lebih kecil lagi, yaitu “hanya” 5,5%. Sektor industri, yang seharusnya menjadi penopang PDB di era ekonomi modern saat ini, “hanya” mendapatkan 21% saja dari total outstanding kredit. 

Berdasarkan data di atas, dapat kita lihat, bahwa yang mendorong pertumbuhan kredit perbankan saat ini adalah sektor konsumtif, bukan sektor produktif. Dengan demikian, pada saat ini, jauh lebih banyak profesi pekerja (pegawai) yang menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani. 

Catatan Akhir : Jangan Hidup Besar Pasak daripada Tiang
Hal yang terjadi di Amerika, sebagaimana yang disampaikan Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade (2003), bahwa kini, rata-rata orang Amerika yang berhutang bukan petani, pengusaha, pedagang (sektor produktif) melainkan orang-orang yang menjadi pegawai (sektor Konsumtif), juga terjadi di Indonesia khususnya di NTB mungkin lebih parah karena ”banyak” pekerja & PNS yang pinjam uang untuk Konsumtif dan hidup lebih besar pasak daripada tiang dan biarkan Saudagar kita yang menyelamatkan negeri ini seperti kata Wakil Presiden Jusuf Kalla "Tidak ada yang bisa bantu (Indonesia), semua krisis. Saudagar-saudagar dalam negerilah yang bisa menyelamatkan perekonomian bangsa" 

______________________
*) Penulis adalah Doktor Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Pengajar Ilmu Ekonomi Regional Pada Fakultas Ekonomi Universitas Mataram.